Bahasa-bahasa
Posted in MindControlKenapa bahasa ketiga itu penting? Ternyata kadang-kadang di negara asing, kita tidak bisa bahasa lokal, penduduk lokal tidak bisa bahasa Inggris, tapi... ajaibnya terkadang kita bisa bahasa ketiga ini dan si penduduk lokal itu pun bisa bahasa tersebut! Komunikasi pun lancar terjalin.
Daysann McLane mengalaminya di Jepang. Kala berada dalam bus, dia berusaha mengobrol dengan cewek Jepang yang duduk di sebelahnya. Sialnya si cewek tidak bisa bahasa Inggris. Nyengir-nyengir kudalah mereka berdua. Entah bagaimana, tiba-tiba terlontar ungkapan bahasa Spanyol dari mulut si cewek Jepang. Lho kok pucuk dicinta ulam tiba, si Daysann pun aktif berbahasa Spanyol. Jadilah mereka bisa nyambung dan ngobrol seru.
Hampir sama seperti pengalaman Daysann, wartawan senior Kompas juga pengarang buku perjalanan berjudul Sekali Merengkuh Dayung, Diah Marsidi, juga punya pengalaman bahasa ketiga (baginya) ini. Di Italia, dia bepergian ke daerah pegunungan. Di dalam bus yang penuh celoteh bahasa Italia, telinganya menangkap percakapan bahasa Spanyol. Tak ragu-ragu dia menyapa para remaja Spanyol yang sedang belajar di Italia itu. Para remaja itu senang sekali ada yang bisa berbahasa Spanyol, dan heran kok bisa-bisanya orang Asia yang menguasai bahasa itu. Sebenarnya mereka rindu juga berbahasa Spanyol, karena pada masa tinggal mereka di Italia itu, tidak ada yang bisa mereka ajak bicara bahasa Spanyol.
Pengalaman para remaja Spanyol yang senang betul mendengar bahasa negaranya di tanah asing itu pernah saya alami di Paris. Saat duduk di kolam di samping piramida Louvre yang kesohor itu, tiba-tiba saya mendengar suara-suara berbahasa Indonesia, “Foto juga dong di sebelah sini...” Tidak buang waktu, saya langsung nembak, “Dari Indonesia yaaaa...” Cowok-cowok yang sedang sibuk foto-foto itu tentu tergirang-girang ketemu orang awak. Ternyata mereka dikirim kursus oleh kantor mereka. Langsung kami bertukar tempat-tempat wisata mana saja yang pernah kami datangi. Lucunya, saya mengkhususkan diri ke Louvre saat itu karena tiketnya gratis, ternyata mereka yang sudah lebih lama berada di Paris, malah tidak tahu (mungkin karena fokus ikut kursus kali ya...). Jadi begitu saya beritahu hari itu tiket masuk museum gratis, mereka langsung kabur meninggalkan saya untuk memburu jam buka museum yang sudah akan tutup.
Pengalaman menggunakan bahasa ketiga saya peroleh juga di Paris. Tentu saja dengan terbata-bata, menggunakan bahasa Prancis saya dengan para native speakers-nya. Kata orang, Parisians dan orang Prancis pada umumnya ogah berbahasa Inggris. Kata saya, nggak tuh! Banyak kok orang Paris yang baik hati mau jawab kalau ditanya dengan bahasa Inggris. Tapi ada juga sih yang ogah berbahasa Inggris. “Non, non, non, en francais, s'il vous plait!” Terbata-batalah saya menjelaskan saya ingin roti plus cokelat panas. Lain kalinya, dengan pede saya menanyakan judul DVD yang saya inginkan, “Excusez-moi, s'il vous plait, vous savez 'Epouse-moi'?” Para penjaga toko DVD itu menatap saya dengan intens lalu membalas, “C'est un proposition, Madam?” Lalu mereka meledak terbahak-bahak, sementara saya jadinya tersipu-sipu malu, soalnya judul DVD itu memang, “will you marry me?” hehehe...
Paling pede jaya berbahasa Prancis (dikompori oleh sedikit kekesalan karena kena todong ibu-ibu Cina untuk menolong membelikan tas Louis Vuitton buat dia) adalah di gerai Louis Vuitton di Champs Elysees. Keren banget gak tuh? Louis Vuitton, Champs Elysees. Trully on top of the world. Sialnya saya cuma turis miskin yang tiket ke Eropa pun dibayarin kantor (tapi puji Tuhan, udah nyampe Eropa... hahaha...). Dengan pede jaya (dicampur sedikit kesel), saya berderap masuk gerai LV itu, langsung mendatangi manajernya yang menyapa dengan bahasa Inggris, “May I help you?” dan saya jawab dengan bahasa Prancis (keren, gak tuh?), “Oui, vous savez ce sac blablabla (jenis tasnya).” Langsung si manajer jadi lebih ramah, “Oui, Madam.” Dia pergi mengambilkan tas itu. Saat transaksi, dia bertanya saya dari mana, saat saya bilang dari Indonesia, dia tidak percaya. “Je pense-que, vous-etes Philipine, Madam,” katanya. Wah ya deketan sih. Tapi lebih sedih lagi pas dia gak percaya saya belajar bahasa Prancis di Jakarta. “Emangnya ada les Prancis di Jakarta?” tanyanya. Gak sopan!
Soal bahasa ketiga, saya pernah gagal total memakainya---jelas saya tidak seberuntung si Daysann McLane. Di Bologna, Italia, saya ingin menanyakan jam keberangkatan kereta api. Masuklah saya ke konter informasi di stasiun, yang terdapat dalam suatu ruangan tersendiri. Bule-bule Italia di sana menatap dengan angker. “No English!” kata salah satu di antara mereka. Gleks. Saya pikir bahasa Italia mirip bahasa Spanyol, jadi meskipun bahasa Spanyol saya celemotan, saya beranikan diri untuk menggunakannya. Masalahnya kalau kita tidak yakin bahwa diri kita akan dimengerti, kita cenderung bicara dengan suara keras dan penekanan pada tiap kata. Plus gugup, jadilah celemotan meningkat ke belepotan. “Tengo que volver aqui...” Maksudnya, saya (tepatnya teman saya sih) mesti kembali ke Bologna situ setelah melawat ke Firenze beberapa jam, dan saya ingin menanyakan kereta balik dari Firenze jam berapa aja. Reaksinya, bapak-ibu Italia itu terdiam beberapa detik, lalu meledak terbahak-bahak. Reaksi saya? Merasa terhina, terhina, terhina.
Anyway, meskipun bahasa ketiga itu kayaknya perlu, apalagi kalau sampai kita ketemu situasi seperti yang dihadapi si Daysann McLane, tapi ada lho bahasa universal yang laku di mana-mana: nyengir kuda dan senyum manis. Asal sudah tersenyum manis, orang-orang yang kita ajak bicara pasti berusaha membantu. Selain itu, jangan lupa bahasa universal lain yang juga laku di mana-mana: bahasa Tarzan! Auooooooooooooo...
0 komentar: