SABDATAMA
Posted in ForDate, Jawa Punya KitaPada tanggal 11 Mei head line news di Kedaulatan Rakyat memuat tulisan bahwa Sultan HB X telah mengeluarkan Sabdatama yang menegaskan bahwa Kraton dan Pakualam Dwi Tunggal. Ada beberapa alasan mengapa sabdatama tersebut menjadi sangat urgen untuk dianalisis.
Pertama,
sabdatama merupakan sikap yang tegas dan ditunggu warga Yogyakarta
sebagai akibat molornya pengesahan Rancangan Undang-Undang Keistimewaan
Daerah Istimewa Yogyakarta (RUUK DIY). Kedua, sabdatama tersebut sebagai
refleksi politik bahwa Yogyakarta merupakan daerah istimewa dan
dipimpin oleh Sultan dan Pakualam sebagai Wakilnya. Kemudian apa yang
dapat dimaknai dari pernyataan Sultan tersebut?
Sabdatama
yang disampaikan Sultan Hamengku Buwono merupakan penegasan kedudukan
Sultan dan wilayah Yogyakarta. Dalam konteks keindonesiaan saat ini
sabdatama merupakan suara politik sikap Kraton terhadap keistimewaan
Yogyakarta. Selain itu sebagai respon terhadap pemerintah pusat yang
hingga saat ini belum mengesahkan Rancangan Undang-Undang Keistimewaan
Daerah Istimewa Yogyakarta (RUUK DIY). Padahal RUUK DIY tersebut sangat
di tunggu-tunggu oleh masyarakat. Oleh karena itu mari kita tunggu
respon pemerintah pusat terhadap sabdatama Sultan tersebut.
Sabdatama vs Modernisasi
Modernisasi
sebagai tsunami telah menghantam semua apapun yang menghalanginya.
Namun tidak seluruhnya yang dihantam tersebut hancur, bahkan disisi lain
ada beberapa element yang justru makin kuat. Salah satunya adalah
kondisi politik di daerah Yogyakarta. Jika di daerah lain Gubernur
maupun Wakilnya dipilih maka di Yogya justru menginginkan penetapan. Hal
tersebut dikuatkan kembali dengan adanya sabdatama Sultan HB X. Menurut
penulis modernisasi yang dicirikan dengan adanya demokratisasi yang
berupa pemilihan secara langsung terhadap pemimpin daerah tidak
selamanya bermuara pada kesejahteraan.
Hal
ini berbeda dengan para dewa-dewa demokrasi yang mengatakan bahwa wujud
demokrasi berupa pemilihan. Namun apakah model pemilihan seperti ini
benar-benar menunjukkan demokratisasi? Menurut penulis demokratis tidak
identik dengan pemilihan. Karena selamanya hak penentuan pemimpin ada di
tangan rakyat dan implementasinya tidak harus melalui pemilu.
Merujuk
makna demokrasi bahwa dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Jika
melihat makna ini maka dengan sendirinya maka demokrasi harus dengan
pemilu batal dengan sendirinya. Sebab pertama rakyat memiliki sikap
sendiri dan tidak harus dipaksa oleh kekuatan politik untuk pemilu. Hal
ini seperti yang terjadi dalam kepemimpinan di Yogyakarta.
Bahwa
mayoritas masyarakat Yogyakarta telah mendukung penetapan Gubernur dan
Wakil Gubernur adalah suatu fakta. Hal ini diwujudkan dengan mayoritas
anggota DPRD Provinsi DIY mayoritas pro penetapan. Sehingga jika pemilu
tetap diwujudkan apakah hal ini justru hanya akan mencederai makna
demokrasi itu sendiri?
Kemudian
pertanyaan berlanjut apakah dengan pemilu akan menghasilkan pemimpin
yang jujur dan mampu membawa kesejahteraan? Menurut penulis belum tentu!
Bisa saja Pemilukada justru menghabiskan anggaran daerah dan
memiskinkan penduduk bahkan menjadi komoditas politik yang
diperdagangkan. Yang diuntungkan justru bloger-bloger politik. Sehingga
tidak mengherankan jika Pemilukada, menurut penulis justru disisi lain
jauh dari tujuan demokrasi itu sendiri.
Hal
ini bukan berarti penulis menjustifikasi bahwa Pilkada selalu tidak
menghasilkan pemimpin yang kredibel. Namun melihat pengalaman yang
dilakukan selama ini justru Pilkada diwarnai bentrokan dan mengakibatkan
dishamonis sosial.
Dalam
konteks Yogyakarta demokrasi bukan berarti harus pemilu. Demokrasi
harus selaras dengan budaya lokal. Hal ini terjadi jika demokrasi yang
merupakan produk budaya barat dapat diterapkan dengan kondisi kultur
masyarakat setempat.
Jika
hal ini hanya diterapkan secara utuh dengan budaya barat maka akan
menghancurkan kultur masyarakat yang ada. Hal ini juga dapat untuk
menjelaskan demokrasi apa yang sebenarnya diinginkan oleh masyarakat
Yogyakarta.
Seharusnya
pernyataan dan sikap masyarakat Yogyakarta ini harus direspon dan
disikapi oleh pihak terkait. Bahkan masyarakat Yogyapun siap referendum
jika diperlukan. Hal ini menegaskan bahwa demokrasi tidak selamanya
harus dengan pemilu. Tetapi lebih tepatnya dengan musyawarah mufakat
atau konsensi penduduk. Akhir dari tulisan ini mari kita tunggu sampai
kapan drama politik keistimewaan Yogyakarta akan selesai!!
Artikel dimuat oleh Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat tanggal 15 Mei 2012
0 komentar: