Selasa, 16 Oktober 2012

0

SABDATAMA

Posted in ,


Pada tanggal 11 Mei head line news di Kedaulatan Rakyat memuat tulisan bahwa Sultan HB X telah mengeluarkan Sabdatama yang menegaskan bahwa Kraton dan Pakualam Dwi Tunggal. Ada beberapa alasan mengapa sabdatama tersebut menjadi sangat urgen untuk dianalisis.
Pertama, sabdatama merupakan sikap yang tegas dan ditunggu warga Yogyakarta sebagai akibat molornya pengesahan Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (RUUK DIY). Kedua, sabdatama tersebut sebagai refleksi politik bahwa Yogyakarta merupakan daerah istimewa dan dipimpin oleh Sultan dan Pakualam sebagai Wakilnya. Kemudian apa yang dapat dimaknai dari pernyataan Sultan tersebut?
Sabdatama yang disampaikan Sultan Hamengku Buwono merupakan penegasan kedudukan Sultan dan wilayah Yogyakarta. Dalam konteks keindonesiaan saat ini sabdatama merupakan suara politik sikap Kraton terhadap keistimewaan Yogyakarta. Selain itu sebagai respon terhadap pemerintah pusat yang hingga saat ini belum mengesahkan Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (RUUK DIY). Padahal RUUK DIY tersebut sangat di tunggu-tunggu oleh masyarakat. Oleh karena itu mari kita tunggu respon pemerintah pusat terhadap sabdatama Sultan tersebut.
Sabdatama vs Modernisasi
Modernisasi sebagai tsunami telah menghantam semua apapun yang menghalanginya. Namun tidak seluruhnya yang dihantam tersebut hancur, bahkan disisi lain ada beberapa element yang justru makin kuat. Salah satunya adalah kondisi politik di daerah Yogyakarta. Jika di daerah lain Gubernur maupun Wakilnya dipilih maka di Yogya justru menginginkan penetapan. Hal tersebut dikuatkan kembali dengan adanya sabdatama Sultan HB X. Menurut penulis modernisasi yang dicirikan dengan adanya demokratisasi yang berupa pemilihan secara langsung terhadap pemimpin daerah tidak selamanya bermuara pada kesejahteraan.
Hal ini berbeda dengan para dewa-dewa demokrasi yang mengatakan bahwa wujud demokrasi berupa pemilihan. Namun apakah model pemilihan seperti ini benar-benar menunjukkan demokratisasi? Menurut penulis demokratis tidak identik dengan pemilihan. Karena selamanya hak penentuan pemimpin ada di tangan rakyat dan implementasinya tidak harus melalui pemilu.
Merujuk makna demokrasi bahwa dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Jika melihat makna ini maka dengan sendirinya maka demokrasi harus dengan pemilu batal dengan sendirinya. Sebab pertama rakyat memiliki sikap sendiri dan tidak harus dipaksa oleh kekuatan politik untuk pemilu. Hal ini seperti yang terjadi dalam kepemimpinan di Yogyakarta.
Bahwa mayoritas masyarakat Yogyakarta telah mendukung penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur adalah suatu fakta. Hal ini diwujudkan dengan mayoritas anggota DPRD Provinsi DIY mayoritas pro penetapan. Sehingga jika pemilu tetap diwujudkan apakah hal ini justru hanya akan mencederai makna demokrasi itu sendiri?
Kemudian pertanyaan berlanjut apakah dengan pemilu akan menghasilkan pemimpin yang jujur dan mampu membawa kesejahteraan? Menurut penulis belum tentu! Bisa saja Pemilukada justru menghabiskan anggaran daerah dan memiskinkan penduduk bahkan menjadi komoditas politik yang diperdagangkan. Yang diuntungkan justru bloger-bloger politik. Sehingga tidak mengherankan jika Pemilukada, menurut penulis justru disisi lain jauh dari tujuan demokrasi itu sendiri.
Hal ini bukan berarti penulis menjustifikasi bahwa Pilkada selalu tidak menghasilkan pemimpin yang kredibel. Namun melihat pengalaman yang dilakukan selama ini justru Pilkada diwarnai bentrokan dan mengakibatkan dishamonis sosial.
Dalam konteks Yogyakarta demokrasi bukan berarti harus pemilu. Demokrasi harus selaras dengan budaya lokal. Hal ini terjadi jika demokrasi yang merupakan produk budaya barat dapat diterapkan dengan kondisi kultur masyarakat setempat.
Jika hal ini hanya diterapkan secara utuh dengan budaya barat maka akan menghancurkan kultur masyarakat yang ada. Hal ini juga dapat untuk menjelaskan demokrasi apa yang sebenarnya diinginkan oleh masyarakat Yogyakarta.
Seharusnya pernyataan dan sikap masyarakat Yogyakarta ini harus direspon dan disikapi oleh pihak terkait. Bahkan masyarakat Yogyapun siap referendum jika diperlukan. Hal ini menegaskan bahwa demokrasi tidak selamanya harus dengan pemilu. Tetapi lebih tepatnya dengan musyawarah mufakat atau konsensi penduduk. Akhir dari tulisan ini mari kita tunggu sampai kapan drama politik keistimewaan Yogyakarta akan selesai!!

Artikel dimuat oleh Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat tanggal 15 Mei 2012

0 komentar: